Nusantara

Program Layanan Dokter Primer Disarankan untuk Dihentikan

Bandung (28/9) – Anggota Komisi XI DPR RI menyarankan kepada pemerintah agar menghentikan program Dokter Layanan Primer (DLP).  Hal ini dikemukakan Adang Sudrajat menyusul banyaknya masukan dari rekan-rekan dokter, baik secara personal maupun institusi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

“Saya mendapat masukan dari kawan-kawan dokter di seluruh Indonesia baik secara personal maupun kelembagaan seperti IDI agar program DLP ini secepatnya segera dihentikan,” ucap dokter Adang di Bandung, Rabu (28/9).

Alumnus Fakultas Kedokteran Unpad ini menjelaskan bahwa pendidikan kedokteran memiliki masa pendidikan paling panjang di Indonesia. Seorang yang ingin menjadi dokter, tambah Adang, harus menempuh pendidikan sarjana kedokteran minimal 4 tahun. Lalu, setelah itu harus menjalani masa koasisten selama 2 tahun. Setelah lulus koasisten, dilanjutkan menjalani uji kompetensi selama 1 tahun. Terakhir, seorang tersebut harus menjalani 1 interensif, setelah itu baru dapat menjalankan pekerjaan profesi praktek kedokteran.

“Program DLP selama 3 tahun, akan menambah semakin lamanya proses pendidikan seorang dokter. Penambahan DLP 3 tahun masa pendidikan berakibat lambatnya dokter baru memasuki dunia kerja dan terganggunya kinerja serta masa kerja dokter senior,” jelas Adang.

Adang menambahkan, meskipun bertambahnya masa pendidikan, hal itu tidak serta merta menambah daya saing dokter di Indonesia.

“Karena DLP tetap saja dokter umum,” tukas Adang.

Selain itu, Program DLP, lanjut Adang, akan memboroskan anggaran negara yang begitu besar karena untuk satu orang DLP dibutuhkan biaya sebesar Rp 300 juta. Oleh karena itu, untuk menghasilkan 1000 orang DLP, pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar 300 milyar.

Selain itu, Adang menilai Program DLP tidak akan mampu memerbaiki pelayanan di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama), meskipun sudah ditingkatkan kemampuan FTKP tersebut.

Oleh karena, apabila perhitungan sistem kapitasi tetap dipertahankan di FKTP,  maka dokter DLP pun tetap akan memilih merujuk pasiennya daripada jadi pengurang pendapatan klinik. Hal ini mengakibatkan adanya tujuan untuk menurunkan besarnya klaim tagihan dari rumah sakit ke BPJS, tidak akan tercapai, sehingga  pemborosan biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tetap terjadi.

“DLP berpotensi memancing terjadinya konflik horizontal antara dokter umum non DLP dan dokter umum DLP. Sebab pada akhirnya dokter umum akan terbagi menjadi 2 kasta atau 2 golongan dengan hak dan keistimewaan yang berbeda,” jelas Legislator PKS dari Daerah Jawa Barat II ini.

Dengan adanya program DLP ini, telah terjadi konflik antara IDI, Kemenkes, serta Kemenristekdikti. Bahkan, tambah Adang hal ini merupakan sebuah kemunduran regulasi kesehatan secara nasional.

“Agar tidak terjadi semakin buruknya regulasi kesehatan nasional, maka saya meminta pihak terkait untuk saling menahan diri, sambil mencari solusi yang lebih rasional dan realistis. Apabila nanti ada perkara yang berpotensi menimbulkan kebaikan tapi menimbulkan akibat buruk yang nyata, maka menghindari akibat buruknya harus mendapat prioritas daripada mendapatkan manfaat yang belum pasti didapatkan,” pungkas dokter Adang Sudrajat.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button