Di Paripurna, Almuzammil Pertanyakan Diskriminasi Pencoretan Bendera Merah Putih
Jakarta (24/1) – Anggota Fraksi PKS Almuzammil Yusuf mengingatkan Presiden RI Joko Widodo agar jangan sampai sejarah “mencatat” dalam kepemimpinan Jokowi ada warga negara yang diproses hukum dengan cara tak patut hanya karena yang bersangkutan menulis kalimat tauhid Bendera Merah Putih.
“Saya mengingatkan kepada Bapak Presiden RI Joko Widodo jangan sampai sejarah mencatat dalam kepemimpinan Jokowi ada warga negara yang diproses hukum dengan cara tak patut hanya karena yang bersangkutan menulis kata Laa Ilaha Illallah pada Bendera Merah putih,” kata Almuzzammil secara terbuka dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/1/2017).
Almuzzammil mengutip pasal 27 ayat 1 UUD Negara RI Tahun 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Serta pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
“Adapun ciri negara hukum adalah adanya supremasi hukum; persamaan di hadapan hukum: due process of law, peradilan yang bebas merdeka dan pengakuan HAM. Dengan mengacu kepada dua pasal tersebut dan juga Fungsi Pengawasan DPR terhadap Pemerintah pada pasal 20A UUD Negara RI Tahun 1945. Maka saya ingin bertanya kepada Presiden Republik Indonesia dan Pejabat Penegak Hukum khususnya Kapolri tentang status para pembuat gambar atau tulisan di tengah bendera merah putih,” katanya.
Almuzzammil menunjukkan beberapa gambar tentang bendera merah putih. Pertama, konser band bergambar artis indonesia di tengah bendera merah putih. Yang kedua konser band Dream Theatre di tengah bendera merah putih. Ketiga konser Band Metallica di tengah bendera merah putih.
Keempat, para pendukung Ahok yang menuntut pembebasan Ahok dengan tulisan di tengah bendera merah putih. Kelima, demostran yang menulis kata: “Kita Indonesia” di tengah bendera merah putih. Yang terakhir, bendera merah putih yang bertuliskan kata “Laa Ilaha Illalloh” yang ditulis oleh Nurul Fahmi (NF).
Dari enam gambar di atas, kata dia, hanya NF yang diproses hukum. Kabid Humas Polda Metro di media mengatakan ada atau tidak ada pelapor kasus NF akan diproses hukum. “Pertanyaan saya bagaimana dengan lima pelaku serupa? Mengapa mereka tidak diproses hukum. Bukti foto dan gambar ada dan jelas,” ujar dia.
Al Muzammil menyebut, Pasal 24 pada UU 24 tahun 2009 menegaskan bahwa perbuatan penodaan Bendera negara tersebut harus ada niat jahat dan unsur kesengajaan. “Sungguh tidak masuk nalar jika kata-kata mulia “Laa Ilaha Illallah” dimaksud untuk menodai, menghina, dan merendahkan bendera negara sebagaimana dimaksud UU 24/2009,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa jangan sampai proses hukum yang sedang berjalan menggiring kesimpulan publik bahwa kata mulia “Laa ilaha Ilallah” yang telah menemani para pejuang mengusir penjajah, menjadi kata yang terlarang dan direndahkan di bumi Indonesia yang mayoritas muslim dan negara muslim terbesar di dunia.
Oleh karena itu pada kesempatan tersebut, ia meminta kepada Kapolri untuk menegakkan prinsip negara hukum yakni pertama, supremasi hukum bukan kekuasaan. Kedua, persamaan warga negara di hadapan hukum bukan perbedaan. Ketiga, penegakan hukum dengan menghormati aturan hukum.
“Bukan dengan melabrak aturan hukum. NF telah ditangkap aparat penegak hukum di tengah malam seperti seorang teroris dan bandar narkoba. Padahal dalam kasus NF harus dibuktikan unsur kesengajaan dan niat jahat,” ungkap Almuzzammil.
Untuk para anggota DPR RI, Almuzzammil yakin ia tidak sendiri dalam merasakan ketidakadilan terhadap proses hukum tersebut. Ia yakin banyak anggota DPR yang merasakan hal yang sama. “Untuk itu saya minta teman-teman berdiri. Terima kasih, saya tutup dengan ucapan ‘Laa Ilaha Illallah Muslim Cinta NKRI'” kata dia. (msm)